Megadewa88 portal,Jakarta –Pengusaha otomotif menyoroti gejala meningkatnya kesulitan masyarakat Indonesia dalam melunasi cicilan kendaraan, di tengah tekanan ekonomi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

The 50 most innovative companies, and the attributes that set them apart

Agustinus, pemilik Focus Motor Group, mengamati adanya perubahan perilaku konsumen yang mulai mengalami kredit macet. Menurutnya, jika dulu konsumen umumnya berhenti mencicil di awal masa kredit, kini justru banyak yang berhenti di tengah jalan, bahkan setelah mencicil selama lebih dari setahun.

Ia menjelaskan bahwa pada masa lalu, sebagian konsumen membeli mobil demi gaya hidup tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar dalam jangka panjang. Namun saat ini, bahkan konsumen yang sebelumnya rutin membayar cicilan selama belasan bulan mulai mengalami kesulitan.

“Saya tanya ke pihak leasing, kenapa sekarang lebih ketat? Mereka bilang banyak nasabah yang cicilannya macet. Artinya mereka punya data bahwa ke depan risiko gagal bayar meningkat,” kata Agustinus, dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (4/8).

“Kalau kredit sudah berjalan dua tahun lalu tiba-tiba mandek, bisa jadi karena mereka kena PHK atau bisnisnya jatuh secara drastis,” lanjutnya.

Pengamatan Agustinus sejalan dengan melemahnya performa penjualan kendaraan tahun ini.

Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total distribusi mobil dari pabrik ke dealer (wholesales) selama semester I 2025 mencapai 374.740 unit — turun 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara penjualan ritel, yakni dari dealer ke pembeli akhir, tercatat sebanyak 390.467 unit. Angka ini juga turun 9,71% dibandingkan semester I 2024.

Ekonom senior dari INDEF, Mohamad Fadhil Hasan, menilai bahwa meningkatnya kesulitan masyarakat dalam membayar cicilan mobil adalah tanda bahaya bagi kondisi ekonomi nasional.

Menurut Fadhil, volume penjualan mobil secara tidak langsung mencerminkan kemampuan konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Penurunan penjualan serta macetnya cicilan bisa diartikan sebagai melemahnya daya beli kelompok tersebut.

Ia menekankan bahwa kondisi ini bisa membawa dampak serius di masa depan, mengingat sektor otomotif dan lembaga pembiayaan sangat tergantung pada stabilitas daya beli masyarakat.

“Kalau penghasilan mereka tak lagi cukup untuk membayar cicilan, maka risiko kredit macet di sektor otomotif akan meningkat. Ini tentu akan berimbas pada kinerja penjualan mobil dan motor,” ujar Fadhil kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/8).

Fadhil juga mengaitkan fenomena ini dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat penurunan jumlah penduduk kelas menengah sebanyak sekitar 9,49 juta orang antara 2019 hingga 2024. Pada saat yang sama, jumlah kelompok yang sedang beranjak ke kelas menengah (aspiring middle class) justru mengalami peningkatan yang hampir setara.

Ronny Sasmita, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, menilai bahwa gelombang PHK menjadi salah satu penyebab utama kesulitan bayar cicilan mobil yang dialami masyarakat.

Baca Juga: Pemutihan Pajak Kendaraan Banten Diperpanjang hingga 31 Oktober 2025

Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan bahwa sekitar 250 ribu pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang 2024, dan 40 ribu lainnya menyusul pada Januari-Februari 2025.

Menurut Ronny, dua fenomena ini—PHK dan kesulitan bayar cicilan—menggambarkan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Alhasil, masyarakat mulai membatasi pengeluaran, dan kebutuhan tersier seperti mobil menjadi beban yang akhirnya dikorbankan.

“PHK yang tinggi dalam dua tahun terakhir menyebabkan banyak orang tak lagi mampu membayar kewajiban seperti cicilan mobil,” jelas Ronny.

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu merespons fenomena ini dengan langkah yang serius. Jika dibiarkan, krisis pembayaran cicilan ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Ronny mendorong pemerintah untuk meningkatkan investasi sebagai cara menciptakan lapangan kerja baru.

Baca Juga: BNI Mudahkan Aktivasi Rekening Tidak Aktif Tanpa Biaya

Ia juga menyarankan evaluasi terhadap efisiensi anggaran pemerintah. Sebab, kebijakan penghematan bisa berdampak negatif pada kegiatan ekonomi masyarakat, seperti industri perhotelan yang kehilangan pemasukan akibat pembatasan rapat dan kunjungan kerja.

“Kalau pendapatan masyarakat terus terganggu, maka kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban keuangan juga akan ikut terganggu,” pungkasnya