Megadewa88, JAKARTA — Pengusaha meminta sederet kebijakan stimulus untuk mendukung industri padat karya menjelang diberlakukannya tarif resiprokal (timbal balik) sebesar 19% dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia.
Untuk diketahui, pemerintah AS dan Indonesia telah mencapai kesepakatan dagang berupa tarif resiprokal sebesar 19% terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke AS. Adapun, kebijakan ini mulai berlaku besok, 1 Agustus 2025.

Kendati demikian, pemerintah menegaskan selama negosiasi masih berlangsung, tarif resiprokal ini belum akan diberlakukan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pemerintah belum bisa memastikan negosiasi ini akan bergulir.
Baca Juga: Indonesia Pegang Mayoritas Saham Freeport, Apakah Sudah Benar-Benar Menguasai?
“Kami belum bisa memastikan berapa lama negosiasi ini akan berlangsung, tapi selama belum ada persetujuan dari pihak AS, tarif 19% itu akan diterapkan per 1 Agustus,” kata Susiwijono.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyebut proses negosiasi teknis terkait tarif resiprokal Trump masih belum rampung. Ini artinya, tarif 19% terhadap produk ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam tidak langsung berlaku pada 1 Agustus 2025.
“Kita harus clear ya, ini semua masih dalam proses. Jadi negosiasi secara teknis belum selesai dan targetnya bukan 1 Agustus untuk Indonesia, karena Indonesia sudah mencapai satu framework di mana ini akan terus berlanjut negosiasinya,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Menurutnya, selama pemerintah belum mencapai kesepakatan secara teknis, maka tarif yang berlaku untuk Indonesia adalah tarif dasar sebesar 10%.
“Dengan kata lain, kita mau berlama-lama negosiasi, nggak apa-apa juga karena yang kita dapatkan 10%,” ujarnya.
Hitung Mundur
Namun, Shinta menilai pemerintah perlu memberikan paket insentif yang terukur dan berdampak langsung yang utamanya ditujukan kepada sektor padat karya guna menghadapi tarif Trump.
Sederet usulan insentif ini mencakup insentif fiskal seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku, percepatan restitusi PPN, penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri, hingga perluasan skema pajak penghasilan atau PPh 21 ditanggung pemerintah.
Baca Juga:Nilai Tukar Rupiah Menguat ke Rp16.375: Sinyal Positif di Pagi Hari
Shinta mengatakan permintaan insentif perpajakan ini telah disampaikan kepada pemerintah melalui Direktur Jenderal Pajak dan bisa menjadi harapan baru bagi dunia usaha.
Selain pajak, Apindo juga mendorong adanya kemudahan akses pembiayaan yang lebih inklusif kepada dunia usaha. Sebab, Shinta menyebut suku bunga acuan atau BI rate masih berada pada level tinggi.
Terlebih, Shinta menjelaskan bahwa akses pembiayaan termasuk BI rate menjadi bagian untuk keberlangsungan dunia usaha, menjaga arus kas, menopang kapasitas produksi, serta untuk mengurangi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lebih lanjut, kalangan dunia usaha juga mengusulkan stimulus biaya tenaga kerja dan energi melalui subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak, diskon listrik, subsidi gas, serta pengembangan energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dengan skema net-metering.
Di samping itu, Apindo juga mendorong akan adanya efisiensi biaya dan hambatan perizinan untuk menekan biaya operasional.
“Seluruh langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, dan mencegah gelombang PHK lanjutan,” jelasnya.
Shinta menyampaikan bahwa sederet kebijakan ini untuk menciptakan usaha yang lebih kompetitif, inklusif, menjadi pondasi utama dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan perluasan lapangan pekerjaan.
“Industri padat karya kita tengah berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka kita berpotensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” tuturnya.
Baca Juga: China Borong Kelapa Segar dari Indonesia, Bukan Sekadar Ekspor Biasa
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal sepakat bahwa industri padat karya membutuhkan paket stimulus dari pemerintah dalam menghadapi tarif Trump, mengingat industri ini merupakan sektor yang paling rentan.
Faisal mengatakan pemerintah perlu memberikan paket insentif kepada industri padat karya untuk menjaga arus kas (cashflow) tetap terjaga, termasuk insentif pembebasan pajak.
“Jadi sebetulnya itu perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan kalau bisa diakomodasi,” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

 
 
									 
									 
									 
									 
									 
									 
2 Komentar