Megadewa88 portal,Sejarah tata kelola pemerintahan Indonesia pernah mencatat sebuah kebijakan ekonomi yang sangat radikal dan kontroversial, yaitu pembekuan peran dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Peristiwa yang terjadi pada era 1980-an ini menjadi salah satu penanda penting dalam upaya pemerintah saat itu untuk menanggulangi masalah kronis berupa inefisiensi dan praktik korupsi yang masif di lembaga tersebut.

Keputusan historis yang diambil oleh Soeharto ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan tingkat kebocoran penerimaan negara yang sangat tinggi akibat penyelundupan dan praktik penyuapan. Pembekuan fungsi ini secara teknis dilakukan dengan mengalihkan sementara seluruh tugas pemeriksaan barang impor dan ekspor, termasuk penentuan nilai pabean, kepada pihak swasta asing yang independen, yakni Société Générale de Surveillance (SGS) dari Swiss.
Langkah drastis ini sontak menciptakan guncangan dalam birokrasi dan ekosistem perdagangan nasional. Tujuan utama di balik kebijakan ini adalah untuk memutus mata rantai birokrasi yang korup, mempercepat waktu tunggu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time), serta mengamankan penerimaan negara dari sektor kepabeanan. Meskipun menuai pro dan kontra, tercatat bahwa efektivitas dan transparansi pada pelabuhan sempat meningkat signifikan selama masa transisi ini.
Baca Juga:Rp45 miliar disiapkan Purbaya untuk perkuat IT antiselundup
Mengenang kembali peristiwa ini memberikan pelajaran berharga mengenai tantangan reformasi kelembagaan di Indonesia. Keputusan Soeharto untuk menyerahkan tugas vital negara kepada pihak asing merupakan cerminan betapa parahnya tingkat korupsi struktural yang dihadapi Bea Cukai pada masa itu, dan menjadi tonggak sejarah yang mendefinisikan upaya keras dalam mencari solusi terhadap persoalan integritas publik.

Tinggalkan Balasan