Megadewa88 portal, Jakarta – Di antara keindahan historis dan kemajuan modern Kamboja, tersimpan sebuah situs yang menjadi pengingat pedih akan masa lalu yang kelam: Choeung Ek Genocidal Center. Dikenal sebagai salah satu Killing Fields (Ladang Pembantaian) paling tragis, Choeung Ek bukan sekadar destinasi wisata, melainkan sebuah monumen kesedihan, tempat bersemayamnya ribuan jiwa yang menjadi korban rezim Khmer Merah di bawah kepemimpinan Pol Pot. Menyusuri Choeung Ek adalah sebuah perjalanan emosional dan historis yang menuntut refleksi mendalam.

Choeung Ek: Bukti Kekejaman Rezim Khmer Merah

Choeung Ek, yang kini berjarak sekitar 17 kilometer dari Phnom Penh, merupakan salah satu dari banyak lokasi eksekusi massal yang tersebar di seluruh Kamboja selama periode 1975 hingga 1979. Situs ini berfungsi sebagai lokasi pembuangan dan pembantaian bagi ribuan orang yang sebelumnya ditahan dan disiksa di penjara Tuol Sleng (S-21). Korban diangkut dari S-21 menuju Choeung Ek untuk dieksekusi secara brutal, seringkali tanpa menggunakan peluru untuk menghemat biaya, melainkan dengan alat-alat pertanian, tongkat, atau bahkan alat tumpul lainnya.

Penggunaan metode pembantaian yang kejam dan tidak manusiawi ini menjadi ciri khas dari rezim Khmer Merah, yang berambisi menciptakan masyarakat agraris utopia, namun ironisnya, berakhir dengan pembunuhan massal terhadap intelektual, mantan pejabat, kaum minoritas, dan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman. Choeung Ek berdiri sebagai bukti fisik yang tak terbantahkan mengenai horor genosida yang menimpa rakyat Kamboja.

Memorial Stupa: Simbol Duka yang Abadi

Pusat dari Choeung Ek adalah Memorial Stupa yang menjulang tinggi. Stupa ini tidak dibangun untuk peribadatan biasa, melainkan untuk menyimpan dan menghormati sisa-sisa tulang belulang dan tengkorak ribuan korban yang ditemukan dari kuburan massal di sekitarnya. Stupa kaca yang bertingkat-tingkat tersebut memungkinkan pengunjung untuk melihat tumpukan tengkorak yang disusun berdasarkan jenis kelamin dan usia, sebuah pemandangan yang menghadirkan realitas kekejaman masa lalu secara visual dan emosional.

Kehadiran stupa ini berfungsi sebagai museum sekaligus tempat ziarah. Setiap tengkorak, setiap fragmen tulang, adalah suara yang tak terucapkan dari korban. Stupa ini menjadi titik fokus bagi para pengunjung untuk memberikan penghormatan, menyerap energi kesedihan, dan merenungkan pentingnya hak asasi manusia serta bahaya ekstremisme ideologis.

Menyusuri Area Kuburan Massal dan Pohon Pembunuhan

Saat menyusuri area terbuka Choeung Ek, pengunjung akan melewati puluhan kuburan massal yang kini telah ditandai dengan pagar kayu atau beton sederhana. Kuburan-kuburan ini adalah tempat di mana jenazah para korban dilemparkan dan ditimbun. Di beberapa titik, masih terdapat sisa-sisa pakaian dan fragmen tulang yang kadang-kadang muncul ke permukaan tanah, terutama setelah hujan lebat, memperkuat sensasi bahwa tanah ini benar-benar menyimpan duka.

Salah satu area yang paling menyayat hati adalah Pohon Pembunuhan (Killing Tree). Pohon ini digunakan oleh Khmer Merah untuk membenturkan bayi dan anak-anak ke batangnya hingga tewas, sebagai bagian dari strategi keji untuk memastikan tidak ada sisa keturunan yang kelak akan membalas dendam. Situs ini, yang kini dikelilingi oleh pita duka, menjadi simbol paling brutal dari kekejaman yang tak terbayangkan.

Pembelajaran dan Peringatan untuk Kemanusiaan

Kunjungan ke Choeung Ek bukanlah untuk mencari sensasi, melainkan untuk mengambil pelajaran historis dan kemanusiaan yang mendalam. Melalui audio guide yang informatif, pengunjung dipandu langkah demi langkah melalui situs, mendengarkan kisah-kisah korban, kesaksian para penyintas, dan narasi para algojo. Pengalaman ini dirancang untuk memastikan bahwa sejarah kelam ini tidak pernah terulang.

Baca Juga: Menjelajah Nikmat Roti Jala: Lembut, Gurih, dan Penuh Cerita

Choeung Ek adalah sebuah peringatan keras bagi dunia tentang konsekuensi dari intoleransi, kebencian, dan penyalahgunaan kekuasaan. Situs ini mendorong setiap pengunjung untuk menjadi duta perdamaian dan penegak hak asasi manusia, memastikan bahwa penderitaan ribuan jiwa di ladang pembantaian Kamboja tidak pernah dilupakan oleh generasi mendatang.