MEGADEWA88 PORTAL, Beijing –Dunia tengah mengamati dengan seksama KTT China-Uni Eropa yang berlangsung hari ini di Beijing. Apakah pendekatan tak konvensional Presiden AS Trump terhadap aliansi transatlantik dapat membuka peluang untuk mereset hubungan China dengan Uni Eropa dan beberapa negara anggotanya?

Ispanija | KaunoDiena.lt

Namun untuk saat ini, hal tersebut tampak tidak mungkin terjadi. Pertemuan ini dimaksudkan untuk memperingati 50 tahun hubungan diplomatik, tetapi China dan Eropa masih terpecah dalam isu perdagangan dan perang di Ukraina. Sementara itu, upaya mengurangi ketergantungan pada China tetap menjadi tema utama di benua ini.

KTT hari ini sebenarnya direncanakan untuk diadakan di Brussels, tetapi para pemimpin China menolak undangan tersebut, sebuah tanda jelas sikap keras Beijing terhadap Uni Eropa. Melihat dari kata-kata dan tindakan mereka menjelang KTT, baik Beijing maupun Brussels tampaknya tidak memiliki kemauan politik atau fleksibilitas kebijakan untuk mereset hubungan mereka.

Meskipun pendekatan pemerintahan Trump terhadap Uni Eropa dan Eropa sempat menimbulkan harapan akan adanya rekonsiliasi antara China dan Eropa di KTT China, hubungan China dengan institusi Uni Eropa – serta dengan beberapa negara anggota kunci – tetap mandek. Bahkan, hubungan tersebut dalam banyak hal justru memburuk akibat gesekan perdagangan yang terus berlangsung dan sikap Beijing terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Ketegangan Perdagangan

Bertolak belakang dengan wacana kemungkinan rekonsiliasi, para pembuat kebijakan China merespons dengan tegas sengketa perdagangan yang terus berlangsung dengan Uni Eropa, termasuk pada produk kendaraan listrik (EV), cognac, dan peralatan medis. China tidak segan untuk membalas tindakan serupa dan juga tidak bersikap halus dalam komunikasi dengan institusi Uni Eropa maupun pemerintah-pemerintah Eropa.

Baca Juga: Perang Dagang Era Trump Memanas, Negara-Negara Siap Balas dan Revisi Strategi Ekspor

Baik China maupun Uni Eropa semakin sering mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan untuk melindungi pasar mereka dari produk satu sama lain. Sejak tahun 2020, Beijing telah meluncurkan tujuh investigasi perdagangan dan sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menargetkan produk-produk Eropa, sementara Brussels telah memulai sebelas kasus terhadap China — tiga di antaranya sejak awal masa jabatan kedua Presiden Trump.

Inti dari ketegangan perdagangan ini adalah tantangan ekonomi struktural: China dan Eropa memproduksi barang yang serupa dan bersaing untuk mendominasi manufaktur global. Pendekatan ekonomi China saat ini terhadap Uni Eropa berasal dari model ekonomi barunya, yang didorong oleh inovasi domestik dan peningkatan kualitas ekspor manufakturnya Melalui KTT China.

Produk-produk seperti kendaraan listrik (EV) dan peralatan energi terbarukan merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai ‘kekuatan produktif baru’ yang dianggap China sebagai pendorong utama ekonominya. Model ekspor yang telah ditingkatkan ini menjadi sumber ketegangan utama dengan Eropa, berbeda dengan efek stabilisasi yang diberikan oleh model ekonomi lamanya terhadap hubungan kedua pihak.

Perpecahan Utama Tetap Ada di Tengah Dorongan Eropa untuk Mengurangi Ketergantungan pada China

Keluhan Eropa yang berkelanjutan terhadap Beijing juga berasal dari upaya Eropa untuk mengurangi ketergantungan atau “de-risking” dari China. Keyakinan kuat di kalangan para pemimpin Eropa ini didorong oleh faktor keamanan ekonomi sekaligus dampak geopolitik Eropa akibat hubungan dengan Beijing. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam cara kedua belah pihak memandang hubungan ini. Para pemimpin Eropa lebih banyak melihat hubungan mereka dengan China melalui kacamata perang di Ukraina. Sementara itu, Beijing memandang hubungannya dengan Brussels dan Eropa secara umum terutama melalui lensa strategi pengekangan Amerika Serikat terhadap China.

What more to discuss? For Obama and world leaders it's Trump – Orange County Register

Posisi China terkait perang di Ukraina telah menjadi pemicu utama meningkatnya ketegangan dan permusuhan terhadap Beijing di Eropa. Seiring dengan berlanjutnya agresi Rusia terhadap Ukraina, setiap bentuk interaksi antara China dan Rusia tampaknya semakin memperkuat kekhawatiran dan kecurigaan di kalangan negara-negara Eropa. Hal ini mengakibatkan kebuntuan diplomatik antara Beijing dan sebagian besar negara Eropa. Kedua belah pihak sama-sama merasa tidak melakukan kesalahan, sebuah sikap yang terus membentuk serta mempersulit proses pengambilan keputusan di masing-masing pihak

Baca Juga: Militer Israel Perluas Operasi ke Jantung Wilayah Gaza

Ketidaksesuaian pandangan ini telah menciptakan spiral negatif dalam hubungan China dan Eropa. Para diplomat dan akademisi Tiongkok telah berupaya menjelaskan posisi Tiongkok secara lebih mendalam, namun respons dari pihak Eropa justru menunjukkan peningkatan frustrasi. Hal ini pada akhirnya memicu rasa pesimisme dan fatalisme dalam komunitas strategis Tiongkok. Sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina, para pemimpin Tiongkok telah melakukan sejumlah kunjungan diplomatik ke Eropa guna mencegah kerusakan lebih lanjut dalam hubungan bilateral, namun sebagian besar dari upaya tersebut diabaikan.

Perbedaan pandangan tetap mencolok: Beijing bersikeras bahwa perang di Ukraina merupakan persoalan internal Eropa yang tidak berkaitan langsung dengan Tiongkok, sementara negara-negara Eropa menilai bahwa Tiongkok secara tidak langsung membenarkan tindakan Rusia melalui sikapnya yang ambigu.

Sebagai respons, Tiongkok telah menyusun strategi dua jalur dalam menghadapi Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Di satu sisi, Beijing tetap melanjutkan retorika keras terhadap lembaga-lembaga Uni Eropa. Di sisi lain, Tiongkok menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara Eropa tertentu, seperti Hongaria, yang menunjukkan sikap lebih lunak terhadap agresi militer Rusia maupun persaingan ekonomi yang ditimbulkan oleh Tiongkok

Lembaga keuangan China catat pertumbuhan aset pada Q3 2023 - ANTARA News

Namun, keterlibatan Beijing yang semakin intensif dengan negara-negara tertentu justru menimbulkan kekhawatiran di Brussels. Langkah-langkah Tiongkok dipandang sebagai strategi untuk memecah belah kesatuan internal Uni Eropa yang sudah rapuh, sehingga memperburuk ketegangan dalam hubungan bilateral tersebut.

Beijing tampaknya tidak akan mengubah posisinya terhadap Uni Eropa dalam isu perdagangan, mengingat meningkatnya daya saing Tiongkok dalam ekspor manufaktur berteknologi tinggi serta upaya berkelanjutan untuk menyeimbangkan kembali struktur perekonomiannya di dalam negeri.KTT China Tiongkok juga tidak realistis jika berharap bahwa Eropa akan berpihak kepadanya dalam konflik Ukraina—terutama setelah Uni Eropa memperkenalkan sanksi baru terhadap lembaga-lembaga keuangan Tiongkok yang dianggap mendukung mesin perang Rusia

Kawan Berperang: Rusia Kembangkan Mesin Tempur yang Sepenuhnya Otomatis - Russia Beyond

KTT di Beijing menunjukkan bahwa tidak ada urgensi nyata untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan yang sedang berlangsung. Sebaliknya, pertemuan ini justru menyoroti seberapa besar jarak yang telah terbentuk antara kedua pihak sejak hubungan diplomatik mereka dimulai lima dekade lalu.

Baca Juga: Prajurit Thailand dan Kamboja Terlibat Bentrokan Sengit di Perbatasan, Sedikitnya 14 Tewas

Ke depannya, pemulihan hubungan apa pun akan membutuhkan penyesuaian ulang pendekatan dari kedua belah pihak. Tiongkok tidak bisa terus-menerus mengandalkan retorika tentang “kerja sama yang saling menguntungkan” yang kini semakin kehilangan daya tarik di sebagian besar Eropa. Sementara itu, Eropa juga perlu memiliki pandangan yang realistis mengenai seberapa jauh mereka dapat memengaruhi pandangan dan kebijakan politik pemerintah Tiongkok.

Xi Jinping Sampaikan Pidato di Depan KTT Beijing FOCAC

Para pemimpin Tiongkok dan Eropa harus mampu menemukan suatu bentuk kenormalan baru—yakni hubungan yang fungsional dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.