Megadewa88 portal,Jakarta – Rencana Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk membentuk sebuah komite baru yang bertujuan khusus menangani dan mempercepat pembangunan di Papua kembali memicu gelombang perdebatan sengit. Meskipun inisiatif ini diklaim sebagai upaya strategis untuk menghadirkan solusi komprehensif terhadap berbagai isu multidimensi di Bumi Cenderawasih, langkah tersebut secara langsung menuai kritik keras dari berbagai organisasi dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM). Kritik ini berfokus pada kekhawatiran mendalam mengenai potensi militerisasi pendekatan, kurangnya pelibatan masyarakat adat yang substansial, serta terabaikannya penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu.
Rasionalisasi Pembentukan Komite dan Visi Pembangunan
Rencana pembentukan komite baru yang diinisiasi oleh Prabowo ini didasarkan pada kebutuhan akan koordinasi yang lebih terpusat dan efektif di Papua. Selama ini, upaya pembangunan di Papua sering kali terpecah-pecah di bawah berbagai kementerian dan lembaga, yang dianggap menghambat kecepatan dan ketepatan sasaran program.
Visi utama dari komite ini adalah menciptakan mekanisme satu pintu yang dapat mengintegrasikan aspek keamanan, kesejahteraan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur secara simultan. Komite ini diharapkan mampu mengatasi tantangan logistik dan geografis Papua dengan pendekatan yang lebih terpadu, memastikan bahwa dana dan program yang dialokasikan benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Rasionalisasi ini menekankan bahwa solusi keamanan dan solusi kesejahteraan harus berjalan beriringan untuk menciptakan kedamaian yang berkelanjutan.
Titik Krusial Kritik HAM: Ketakutan Militeristik dan Impunitas
Meskipun tujuan pembangunan dicanangkan, kritik keras dari kelompok HAM berpusat pada kekhawatiran fundamental mengenai pendekatan yang diusung. Berikut adalah tiga poin utama keberatan yang disuarakan para pegiat:
- Potensi Dominasi Militer: Mengingat peran Prabowo sebagai Menteri Pertahanan yang sangat sentral dalam inisiatif ini, dikhawatirkan komite baru ini akan mengadopsi pendekatan yang terlalu didominasi oleh aspek keamanan dan militer. Pegiat HAM menilai bahwa solusi jangka panjang di Papua harus berbasis dialog sipil, bukan pada peningkatan kehadiran dan operasi militer yang justru dapat memperparah trauma.
- Abaikan Penuntasan Kasus Masa Lalu: Para kritikus menyoroti bahwa fokus pada “pembangunan baru” cenderung mengabaikan keharusan untuk menuntaskan berbagai dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua selama beberapa dekade terakhir. Menurut pegiat HAM, perdamaian sejati tidak akan tercapai tanpa adanya keadilan bagi korban dan akuntabilitas bagi pelaku.
- Keterlibatan Masyarakat Adat yang Minim: Ada kekhawatiran bahwa struktur komite baru ini akan didominasi oleh birokrat Jakarta dan tokoh elit, tanpa memberikan ruang substansial bagi masyarakat adat Papua untuk menentukan arah dan prioritas pembangunan di tanah mereka sendiri. Pendekatan top-down semacam ini dinilai berpotensi mengulangi kegagalan kebijakan sebelumnya.
Mendesak Keseimbangan: Pembangunan Harus Berbasis Keadilan
Polemik ini mendesak pemerintah untuk mencari titik keseimbangan yang kritis. Megadewa88 melihat bahwa inisiatif pembangunan yang ambisius dari Prabowo ini harus diimbangi dengan jaminan HAM dan prinsip keadilan.
Baca Juga: Pimpinan DPR Akui Rencana Kenaikan Dana Reses Dibatalkan
Jika komite ini tetap dilanjutkan, ada tuntutan kuat agar struktur dan mandatnya direvisi. Hal ini mencakup memastikan komposisi komite yang didominasi oleh perwakilan sipil, akademisi, tokoh agama, dan tokoh adat Papua. Selain itu, mandat komite harus secara eksplisit mencakup komitmen untuk mendukung upaya penuntasan kasus-kasus HAM di masa lalu, bukan hanya fokus pada pembangunan fisik semata. Keberhasilan inisiatif Prabowo ini di Papua tidak akan diukur hanya dari seberapa cepat infrastruktur dibangun, tetapi dari seberapa besar keadilan dan martabat masyarakat Papua dihormati dan dijamin.
Tinggalkan Balasan