Sekilas Situasi Saat ini
MEGADEWA88 PORTAL, Timor Leste– Pemerintah Timor-Leste melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) satu kasus kematian akibat rabies pada manusia yang terjadi di Munisipalitas Ermera. Antara bulan Mei hingga pertengahan Juni 2025, Timor-Leste telah mengonfirmasi empat kematian akibat rabies pada manusia di munisipalitas Bobonaro (2 kasus), Ermera (1 kasus), dan Oecusse (1 kasus). Seluruh kasus tersebut melibatkan individu yang sebelumnya digigit anjing beberapa bulan sebelum munculnya gejala, dan virus rabies dikonfirmasi melalui pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Sejak Maret 2024, telah dilaporkan total 106 kasus rabies pada hewan—sebagian besar pada anjing—dan lebih dari 1400 kasus gigitan atau cakaran anjing, dengan total enam kematian. Akses terhadap dan penyelesaian profilaksis pasca pajanan (Post-Exposure Prophylaxis/PEP) masih terbatas. Penyebaran rabies ke wilayah non-perbatasan seperti Ermera menandakan kekhawatiran yang meningkat terhadap kesehatan masyarakat.
Tanggapan kesehatan masyarakat yang sedang berlangsung mencakup vaksinasi anjing, komunikasi risiko, pelatihan tenaga kesehatan mengenai PEP dan penanganan kasus, surveilans aktif, serta penyediaan vaksin rabies dan imunoglobulin rabies untuk manusia.
Berdasarkan informasi yang tersedia saat ini, WHO menilai tingkat risiko akibat kejadian ini sebagai tinggi di tingkat nasional, moderat di tingkat regional, dan rendah di tingkat global.
Penjelasan Lengkap Situasi Rabies di Timor-Leste
Per 17 Juni 2025, total empat kasus kematian manusia akibat rabies telah dikonfirmasi di Timor-Leste pada tahun 2025. Kasus-kasus ini terjadi di kabupaten Bobonaro (2 kasus), Ermera (1 kasus), dan Oecusse (1 kasus).
Pada 17 Mei 2025, Kementerian Kesehatan Timor-Leste mengonfirmasi satu kasus kematian rabies pada seorang pria dewasa dari kabupaten Ermera. Orang tersebut digigit anjing pada Maret 2025 dan mengalami gejala seperti hidrofobia, fotofobia, agresivitas, kejang, dan halusinasi. Pada 15 Mei, pasien mencari perawatan medis dan dirujuk ke rumah sakit nasional. Infeksi rabies dikonfirmasi pada hari yang sama melalui tes RT-PCR menggunakan sampel air liur yang diambil sebelum kematiannya di Laboratorium Kesehatan Nasional Timor-Leste.

Pada 30 Mei 2025, kasus kematian kedua akibat rabies dikonfirmasi pada pria dewasa dari kabupaten Oecusse. Orang tersebut digigit anjing pada Juni 2024 dan mengalami gejala hidrofobia dan fotofobia. Pasien datang ke rumah sakit regional pada 27 Mei 2025 dan infeksi rabies dikonfirmasi melalui tes RT-PCR pada 29 Mei di laboratorium yang sama.
Baca Juga:Wabah Flu Burung di Kamboja: Menilai Potensi Pandemi
Pada 13 Juni 2025, kasus ketiga kematian rabies dikonfirmasi pada pria dewasa dari Bobonaro. Orang ini digigit anjing sekitar 2–3 bulan sebelum gejala muncul dan mengalami hidrofobia serta kesulitan menelan. Pada 12 Juni, pasien mencari perawatan dan dirujuk ke rumah sakit nasional di Dili. Sampel air liur yang diambil sebelum kematian positif rabies melalui RT-PCR.
Pada 17 Juni 2025, kasus kematian keempat dikonfirmasi pada seorang anak perempuan dari Bobonaro. Anak tersebut digigit anjing sekitar dua bulan sebelum gejala muncul dan mengalami hidrofobia, insomnia, halusinasi, hiperaktif, kesulitan menelan, dan kejang. Pada 12 Juni, anak tersebut mendapatkan perawatan medis dan sampel air liurnya positif rabies melalui RT-PCR pada 13 Juni. Anak ini kemudian dirujuk ke rumah sakit nasional pada 14 Juni 2025.
Sebelumnya, pada tahun 2024, telah dilaporkan dua kasus kematian manusia akibat rabies, sehingga total kematian akibat rabies manusia sejak munculnya penyakit ini menjadi enam kasus.
![]()
Pada Maret 2024, kasus rabies hewan pertama (pada anjing) dilaporkan di kabupaten Oecusse. Hingga 1 Juni 2025, sebanyak 106 kasus rabies hewan telah dikonfirmasi di Timor-Leste, di mana 103 kasus (97%) terjadi pada anjing, dua pada kambing (di Bobonaro dan Oecusse), dan satu pada babi (di Bobonaro).

Kabupaten Oecusse merupakan enclave Timor-Leste yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, di mana rabies merupakan penyakit endemik dan kasus manusia sering dilaporkan. Dua kasus kematian manusia akibat rabies di tahun 2024 terjadi di Oecusse. Namun, pada 2025, satu kasus manusia dilaporkan di Ermera, sebuah kabupaten di wilayah pedalaman yang tidak berbatasan langsung dengan Indonesia. Hal ini menunjukkan rabies berpotensi menyebar di luar wilayah perbatasan, sehingga perlu diperluas pengawasan, pemantauan pergerakan anjing terinfeksi, pemberian profilaksis pasca paparan (PEP), vaksinasi anjing, edukasi dan peningkatan kesadaran, serta penanganan risiko penularan yang tidak terdeteksi di wilayah pedalaman negara ini.
Antara Maret 2024 dan 15 Juni 2025, sebanyak 1.445 kasus gigitan dan cakaran anjing dilaporkan di Timor-Leste. Dari jumlah tersebut, 41% diklasifikasikan sebagai paparan kategori III menurut WHO. Hanya 18% dari paparan kategori III yang menerima imunoglobulin rabies. Meski 66% korban gigitan memulai PEP, sebagian besar tidak menyelesaikan rangkaian pengobatan penuh.
Epidemiologi Rabies di Timor-Leste
Rabies adalah penyakit virus zoonotik yang dapat dicegah dengan vaksin dan menyerang sistem saraf pusat. Setelah gejala klinis muncul, rabies hampir selalu berakibat fatal, dengan tingkat kematian mendekati 100%. Dalam hingga 99% kasus, anjing peliharaan menjadi penyebab utama penularan virus rabies kepada manusia. Namun, rabies juga dapat menginfeksi hewan peliharaan maupun hewan liar. Virus ini menyebar ke manusia dan hewan melalui air liur, biasanya lewat gigitan, cakaran, atau kontak langsung dengan mukosa (misalnya mata, mulut, atau luka terbuka). Anak-anak berusia 5 hingga 14 tahun adalah kelompok yang paling sering menjadi korban. Penularan langsung dari manusia ke manusia belum pernah tercatat, namun penularan dari donor organ atau jaringan yang terinfeksi ke penerima transplantasi pernah terjadi.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3991791/original/036052100_1649663332-Virus_Covid-19.jpg)
Masa inkubasi rabies biasanya berlangsung antara 2–3 bulan, tetapi bisa bervariasi dari 1 minggu hingga 1 tahun, tergantung pada beberapa faktor seperti lokasi masuknya virus dan jumlah virus yang masuk. Gejala awal rabies mencakup tanda-tanda umum seperti demam, nyeri, dan sensasi kesemutan, tertusuk, atau terbakar yang tidak biasa di area luka. Ketika virus mencapai sistem saraf pusat, akan terjadi peradangan progresif dan fatal pada otak dan sumsum tulang belakang. Rabies klinis pada manusia dapat dikelola, tetapi sangat jarang disembuhkan dan hampir selalu meninggalkan kerusakan neurologis berat. Kematian akibat rabies umumnya terjadi pada mereka yang tidak mendapatkan akses cepat terhadap profilaksis pasca paparan (PEP) yang efektif. Menurut Forum Persatuan Melawan Rabies (yang diluncurkan oleh FAO, WHO, dan WOAH), secara global, satu orang meninggal akibat rabies setiap sembilan menit. Hampir setengah dari mereka adalah anak-anak.

Manusia dapat dilindungi dari rabies melalui serangkaian vaksin yang diberikan sebagai profilaksis pra-paparan (PrEP). Setelah terjadi paparan, individu tetap memerlukan vaksinasi penguat pasca-paparan, meskipun dengan jadwal pemberian yang lebih singkat dibandingkan dengan PEP penuh. PEP adalah respons darurat terhadap paparan rabies dan bertujuan mencegah virus mencapai sistem saraf pusat, yang bila tidak dicegah, hampir pasti menyebabkan kematian.
Baca Juga:Tips Aman Minuman Beralkohol dan Aturan Konsumsi Harian nya
Alat diagnostik yang tersedia saat ini belum mampu mendeteksi infeksi rabies sebelum munculnya gejala klinis. Kecuali terdapat tanda-tanda khas rabies seperti hidrofobia (takut air) atau aerofobia (takut udara) atau riwayat kontak yang jelas dengan hewan yang dicurigai atau dikonfirmasi rabies, maka diagnosis klinis menjadi sulit. Rabies pada manusia dapat dikonfirmasi, baik saat pasien masih hidup maupun setelah meninggal, melalui berbagai teknik diagnostik yang mendeteksi virus utuh, antigen virus, atau asam nukleat virus di jaringan yang terinfeksi seperti otak, kulit, atau air liur.
Respons Kesehatan Masyarakat
Kementerian Kesehatan Timor-Leste (MoH) telah mengambil berbagai langkah respons kesehatan masyarakat sebagai berikut:
-
Pada 16 Juni, konferensi pers diadakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Warga diimbau untuk memvaksinasi anjing mereka, menghindari kontak dengan hewan liar, mengamati perubahan perilaku anjing, serta melaporkan insiden gigitan anjing agar segera mendapatkan perawatan dan vaksinasi rabies. Baru-baru ini, strategi komunikasi risiko rabies dan keterlibatan masyarakat (RCCE) khusus untuk Timor-Leste telah dikembangkan dengan dukungan dari pemerintah Australia dan para ahli komunikasi kesehatan masyarakat. Sejumlah materi RCCE seperti selebaran (untuk orang dewasa dan anak-anak), artikel majalah, video animasi, rekaman podcast, dan konten media sosial dengan tokoh berpengaruh dan dihormati di Timor-Leste telah disusun bersama oleh Kementerian Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan (MALFF), Kementerian Kesehatan, dan WHO untuk meningkatkan kesadaran akan rabies secara nasional.
-
Dengan dukungan dari penanggung jawab program kesehatan sekolah di kantor WHO Timor-Leste, brosur rabies telah dibagikan kepada anak-anak sekolah di daerah berisiko tinggi.
-
Pemerintah Timor-Leste telah mengaktifkan kembali Gugus Tugas Nasional Rabies dan mengadopsi pendekatan One Health, melibatkan Kementerian Kesehatan, MALFF, serta para pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan perencanaan dan respons bersama terhadap rabies. Kampanye nasional pencegahan rabies akan segera diluncurkan, mencakup peningkatan ketersediaan vaksin rabies serta penguatan pengawasan kesehatan manusia dan hewan, termasuk vaksinasi anjing.
-
PEP (Profilaksis Pasca Paparan), termasuk pencucian luka, vaksin anti-rabies, dan imunoglobulin rabies manusia (RIG) untuk imunisasi pasif, saat ini tersedia di fasilitas kesehatan pemerintah. Namun, karena kasus gigitan anjing terus terjadi dan menyebar ke wilayah tetangga, terdapat kebutuhan mendesak untuk permintaan tambahan stok vaksin dan RIG.
-
Rencana Strategis Nasional untuk Eliminasi Rabies di Timor-Leste telah dikembangkan dengan dukungan dari WHO, WOAH, dan Bantuan Australia (Australian Aid)
Penilaian WHO Dan Resiko Rabies di Timor-Leste
Rabies adalah penyakit zoonosis yang dapat dicegah dengan vaksin, namun masih terabaikan. Penyakit ini disebabkan oleh virus neurotropik dari genus Lyssavirus, dan dapat menular ke semua mamalia. Kelompok hewan dari ordo Carnivora dan Chiroptera dianggap sebagai inang reservoir utama, dan menjadi sumber paparan rabies paling umum bagi manusia. Pada hingga 99% kasus rabies pada manusia, anjing domestik—baik peliharaan maupun liar—bertanggung jawab atas penularan virus rabies ke manusia. Penularan rabies terjadi melalui air liur, biasanya lewat gigitan atau kontak non-gigitan (seperti cakaran atau jilatan pada kulit terbuka/mukosa). Virus rabies tidak menular melalui kulit utuh.

Profilaksis pasca pajanan (PEP) merupakan respons darurat terhadap paparan rabies, dan terdiri atas: pencucian luka secara menyeluruh dengan air dan sabun selama minimal 15 menit, perawatan lokal pada luka secepat mungkin setelah paparan yang dicurigai; pemberian vaksin rabies yang memenuhi standar WHO; serta pemberian imunoglobulin rabies atau antibodi monoklonal langsung ke dalam luka, jika memenuhi syarat.
WHO menilai risiko yang ditimbulkan oleh kejadian ini sebagai berikut:
-
Tinggi di tingkat nasional
-
Sedang di tingkat regional
-
Rendah di tingkat global
Penilaian ini didasarkan pada hal-hal berikut:
-
Timor-Leste sebelumnya diklasifikasikan sebagai negara bebas rabies, dan baru melaporkan kasus pertama pada tahun 2024. Namun, pada tahun 2025, beberapa kasus kematian akibat rabies manusia telah dilaporkan dalam waktu singkat di beberapa munisipalitas sekaligus.
-
Pengalaman dan kesadaran masyarakat serta petugas kesehatan terhadap virus kemungkinan masih rendah. Secara umum, tenaga kesehatan memiliki pengetahuan terbatas tentang tata laksana kasus rabies serta penanganan gigitan atau cakaran anjing.
-
Pada tahun 2024, cakupan vaksinasi anjing di provinsi NTT, Indonesia hanya 5,5%, dan secara nasional di Indonesia pada tahun 2022 hanya 24%, jauh di bawah cakupan minimal 70% yang direkomendasikan WHO sebagai langkah teknis pengendalian utama.
-
Upaya vaksinasi di Timor-Leste sejauh ini baru difokuskan pada wilayah berisiko tinggi, dan perluasan ke wilayah lain masih menjadi tantangan karena keterbatasan sumber daya.
-
Timor-Leste memiliki populasi anjing liar dan belum divaksinasi yang cukup besar, termasuk di wilayah perbatasan dengan Indonesia.
-
Sebelumnya tidak ada stok vaksin rabies manusia di fasilitas kesehatan pemerintah. Kantor WHO di Timor-Leste telah mengadakan 6000 dosis vaksin rabies dan 1000 vial imunoglobulin rabies, yang telah didistribusikan ke fasilitas kesehatan.
-
Tidak semua orang yang digigit hewan yang diduga terinfeksi rabies (terutama anjing) menerima PEP yang memadai dan tepat waktu, karena berbagai alasan.
-
Provinsi NTT di Indonesia berbagi perbatasan darat dengan Timor-Leste, dan pengendalian pergerakan hewan—khususnya anjing yang belum divaksinasi—melintasi perbatasan tersebut sangat menantang, karena medan dan panjangnya garis perbatasan.
-
Konfirmasi kasus rabies manusia di Munisipalitas Ermera—yang merupakan wilayah pedalaman dan tidak berbatasan langsung dengan Indonesia—menunjukkan adanya potensi penyebaran geografis yang lebih luas di dalam Timor-Leste. Hal ini mengindikasikan adanya celah dalam sistem surveilans dan cakupan vaksinasi di luar area yang sebelumnya dianggap berisiko tinggi.
Saran WHO (Organisasi Kesehatan Dunia)
Meskipun vaksin hewan yang sangat efektif telah tersedia selama lebih dari satu abad, rabies masih bersifat enzootik di lebih dari 150 negara dan wilayah, terutama di Asia dan Afrika. Rabies termasuk dalam Peta Jalan WHO 2021–2030 untuk Pengendalian Global Penyakit Tropis Terabaikan, yang menetapkan target regional dan bertahap untuk eliminasi penyakit-penyakit tersebut. Sebagai penyakit zoonosis, rabies memerlukan koordinasi lintas sektor yang erat di tingkat nasional, regional, dan global.
Kunci dalam penerapan program eliminasi rabies yang efektif adalah keterlibatan komunitas lokal, memulai dari skala kecil, mendorong investasi jangka panjang melalui paket stimulus, memastikan keterlibatan dan kepemilikan pemerintah, menunjukkan keberhasilan dan efisiensi biaya, serta memperluas cakupan secara cepat.
Eliminasi rabies adalah hal yang memungkinkan dan dapat dicapai apabila tujuan ini diprioritaskan serta didukung secara finansial dan politik.
Komunikasi Risiko dan Keterlibatan Komunitas (RCCE)
Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit rabies melalui keterlibatan komunitas dan pemberdayaan individu adalah pilar utama dalam respons terhadap virus. Kegiatan RCCE harus mencakup pemahaman tentang cara mencegah virus pada hewan, kapan harus mencurigai adanya virus, dan apa yang harus dilakukan jika terjadi paparan. Setiap individu yang terpapar harus segera mencuci luka dengan sabun dan air mengalir dalam jumlah banyak selama 15 menit sebagai tindakan pertolongan pertama yang penting, dan segera mencari pengobatan dini.
Pendidikan tentang perilaku anjing dan pencegahan gigitan penting diberikan kepada anak-anak dan orang dewasa sebagai pelengkap dari program vaksinasi rabies, karena hal ini dapat mengurangi kejadian rabies pada manusia serta beban biaya untuk mengobati luka gigitan anjing.
Imunisasi pada Manusia
Vaksin rabies dan imunoglobulin rabies yang sangat efektif tersedia untuk mengimunisasi manusia setelah diduga terpapar rabies (post-exposure prophylaxis/PEP). Penanganan luka yang tepat dan akses cepat terhadap PEP yang berkualitas hampir 100% efektif dalam mencegah kematian akibat virus pada manusia.
Profilaksis pra-paparan (Pre-exposure prophylaxis/PrEP) direkomendasikan untuk individu dalam pekerjaan berisiko tinggi (seperti pekerja laboratorium yang menangani virus rabies atau virus sejenis virus hidup) dan orang-orang yang aktivitas profesional atau pribadinya dapat menyebabkan kontak langsung dengan kelelawar atau mamalia lain yang mungkin terinfeksi rabies (seperti staf pengendalian penyakit hewan dan penjaga satwa liar). PrEP juga dapat dianjurkan bagi pelancong luar ruangan dan mereka yang tinggal di daerah terpencil dengan tingkat endemisitas rabies tinggi serta akses terbatas terhadap produk biologis rabies. Meskipun telah menerima PrEP, individu yang terpapar masih memerlukan vaksin penguat, namun dengan regimen yang dipersingkat dan tanpa perlu pemberian imunoglobulin rabies (RIG)

1 Komentar