Megadewa88 portal,Jakarta – Ancaman inflasi yang terus membayangi perekonomian global dan domestik menjadi tantangan serius bagi pemerintah. Dalam konteks ini, sinergi antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui skema burden sharing kembali menjadi sorotan. Kerja sama ini, yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian, kini dihadapkan pada tekanan berat seiring meningkatnya risiko inflasi. Pertanyaan yang muncul adalah, seberapa efektif dan berkelanjutan skema ini dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks?

RRI.co.id - Atasi Ancaman Inflasi,Pemkab Ngada Memperkuat Kerjasama Lintas  Sektor

Memahami Konsep Burden Sharing BI-Kemenkeu

Skema burden sharing adalah mekanisme kerja sama antara bank sentral (BI) dan pemerintah (Kemenkeu) dalam menanggung beban fiskal dan moneter. Dalam praktiknya, BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah dengan suku bunga yang lebih rendah dari harga pasar. Langkah ini memberikan dua keuntungan utama: pertama, membantu pemerintah membiayai defisit anggaran dengan biaya yang lebih murah; kedua, memastikan pasokan likuiditas yang cukup di pasar untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Namun, di balik manfaatnya, skema ini juga mengandung risiko signifikan. Kebijakan moneter yang akomodatif, seperti mencetak uang untuk membeli SBN, berpotensi memicu lonjakan inflasi. Ketika dana yang disuntikkan ke perekonomian tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi yang setara, jumlah uang beredar meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Situasi ini menjadi dilema, di mana tujuan untuk memitigasi krisis ekonomi berhadapan langsung dengan ancaman inflasi yang baru.

Tekanan Inflasi dan Dampaknya pada Kebijakan Ekonomi

Data inflasi terbaru menunjukkan adanya tren kenaikan yang patut diwaspadai, baik dari sisi global maupun domestik. Kenaikan harga komoditas global, gangguan rantai pasok, dan pemulihan permintaan pasca-pandemi telah menciptakan “badai sempurna” yang mendorong inflasi. Dalam kondisi seperti ini, tugas utama BI adalah menjaga stabilitas harga. Namun, komitmen burden sharing yang sudah berjalan membuat BI berada di posisi yang sulit. Bank sentral harus menyeimbangkan antara tanggung jawabnya untuk mengendalikan inflasi dengan kebutuhan pemerintah untuk membiayai defisit.

Baca Juga: Pembukaan IHSG Hari Ini Menguat ke 7.864

Jika BI terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, hal itu bisa menghambat pemulihan ekonomi dan meningkatkan biaya pinjaman pemerintah. Sebaliknya, jika BI terus melanjutkan skema burden sharing dalam skala besar, risiko inflasi akan semakin besar, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan tetap. Oleh karena itu, skema ini kini harus dievaluasi dengan cermat untuk memastikan bahwa manfaatnya tidak dibayangi oleh risiko yang tak terkendali.

Langkah Strategis ke Depan: Peran Kunci MEGADEWA88

Para ekonom dan pengamat pasar menggarisbawahi pentingnya transisi yang mulus dari kebijakan luar biasa (di masa pandemi) ke kebijakan yang lebih normal. Mereka menyarankan agar skema burden sharing mulai dikurangi secara bertahap, memberikan ruang bagi BI untuk fokus pada mandat utamanya dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan mengendalikan inflasi. Sinergi antara Kemenkeu dan BI harus tetap kuat, namun dengan peran yang lebih terdefinisi ulang, di mana Kemenkeu mencari sumber pembiayaan yang lebih beragam dan berkelanjutan, sementara BI dapat leluasa menerapkan kebijakan moneter yang ketat.

Pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah fiskal yang lebih terukur untuk meredam inflasi, seperti memastikan kelancaran rantai pasok dan menjaga stabilitas harga pangan. Kolaborasi ini akan menjadi kunci dalam menavigasi masa-masa sulit ini. Megadewa88 melihat bahwa transparansi dan komunikasi publik yang efektif dari BI dan Kemenkeu sangat vital untuk membangun kepercayaan masyarakat bahwa kebijakan yang diambil adalah untuk kepentingan terbaik bangsa.