MEGADEWA88 PORTAL KUALA LUMPUR – Asia Tenggara—Malaysia, Thailand, dan Kamboja—yang baru saja terlibat dalam upaya meredam konflik bersenjata di kawasan, menyambut baik pengurangan tarif dari Amerika Serikat. Mereka menganggap langkah ini sebagai hasil positif dari negosiasi panjang dan sebagai angin segar bagi perekonomian nasional masing-masing.
Menurut para pengamat, keputusan AS memberikan potongan tarif kepada ketiga negara ini tidak hanya dipengaruhi oleh diplomasi perdagangan, tetapi juga oleh gencatan senjata yang memberi keuntungan citra bagi Presiden Donald Trump sebagai tokoh yang mendorong perdamaian global.

Joanne Lin, peneliti senior di Pusat Studi ASEAN ISEAS–Yusof Ishak Institute, menyebut bahwa dinamika geopolitik dan momentum waktu memainkan peran penting dalam keberhasilan Malaysia, Thailand, dan Kamboja memperoleh keringanan tarif.
Baca Juga: Sirkuit MotoGP Jadi Tempat Pengungsian Konflik Thailand-Kamboja
“Keputusan ini keluar hanya beberapa hari setelah gencatan senjata yang disponsori AS berhasil dimediasi antara Kamboja dan Thailand, di mana Malaysia mengambil peran utama sebagai mediator,” ujarnya kepada CNA.
Trump pun dianggap memanfaatkan momen tersebut untuk menegaskan posisinya sebagai pencetus perdamaian regional, sekaligus memperkuat citranya sebagai pemimpin negosiator di panggung internasional.
Selain itu, kesiapan ketiga negara tersebut untuk membuka pasar domestik bagi produk-produk AS, serta keinginan Washington menjauhkan mereka dari pengaruh Tiongkok, juga menjadi alasan utama di balik diskon tarif tersebut.
Dampak Regional
Melalui perintah eksekutif baru Trump pada Jumat lalu, Malaysia kini dikenakan tarif sebesar 19% untuk barang ekspor ke AS, turun dari sebelumnya 25%. Thailand dan Kamboja juga memperoleh tarif serupa, yakni dari 36% menjadi 19%.
Baca Juga: Kemlu Pastikan WNI Aman dari Konflik Bersenjata Kamboja-Thailand
Filipina, Indonesia, dan Vietnam sebelumnya telah lebih dulu menyepakati tarif yang lebih rendah. Sementara itu, Singapura (10%), Brunei (25%), Laos (40%), dan Myanmar (40%) belum mengalami perubahan tarif.
Tarif baru ini akan mulai diberlakukan pada 7 Agustus, satu minggu lebih lambat dari tenggat awal 1 Agustus yang ditetapkan Trump.
Potongan Diskon untuk tiga negara tersebut datang setelah adanya kesepakatan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja, yang difasilitasi Malaysia dan didukung langsung oleh AS dan Tiongkok. Trump bahkan dilaporkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang jika konflik terus berlangsung.
Menteri Perdagangan dan Industri Malaysia, Tengku Zafrul Abdul Aziz, mengatakan bahwa keterlibatan Malaysia dalam memediasi gencatan senjata berkontribusi besar terhadap keberhasilan negosiasi tarif.

“Berapa besar pengaruhnya, saya tidak tahu pasti. Namun, perbincangan antara PM Anwar dan Presiden Trump, terutama soal perdamaian dan Diskon , tentu memberikan kesan positif terhadap peran Malaysia sebagai pemimpin ASEAN,” katanya dalam konferensi pers.
Ia menekankan bahwa kesepakatan ini mencerminkan hubungan bilateral yang kuat antara Malaysia dan Amerika Serikat, dan menyebutnya sebagai hasil dari negosiasi yang berlangsung secara menyeluruh dan berdasarkan prinsip saling menguntungkan.
Baca Juga: Prajurit Thailand dan Kamboja Terlibat Bentrokan Sengit di Perbatasan, Sedikitnya 14 Tewas
Konsesi dan Ketegasan
Malaysia menolak permintaan AS untuk menghapus bea cukai atas alkohol, tembakau, dan sektor otomotif, sambil mempertahankan kebijakan domestik terkait kepemilikan asing dan regulasi digital. Namun, Malaysia setuju untuk menurunkan tarif atas produk pertanian AS dan mempermudah impor daging halal dari AS.
Thailand menyambut kesepakatan tersebut sebagai langkah strategis yang menjaga daya saing ekspornya dan memperkuat kestabilan ekonomi. Pemerintah menyebutnya sebagai hasil diplomasi yang saling menguntungkan.
Di Kamboja, Perdana Menteri Hun Manet menyebut kesepakatan ini sebagai “kabar baik” bagi rakyat dan perekonomian nasional. Ia memuji Trump atas kepemimpinan dalam mencapai gencatan senjata serta tarif yang lebih rendah.
Wakil Perdana Menteri Kamboja, Sun Chanthol, menekankan bahwa sektor garmen dan alas kaki negara itu diselamatkan berkat keringanan tarif, setelah sebelumnya dikenakan hingga 49%.
Pendapat Para Pakar
Beberapa pengamat menyebut bahwa Trump telah menjadikan tarif sebagai instrumen politik luar negeri. Adib Zalkapli dari Viewfinder Global Affairs menyebut bahwa gencatan senjata yang dimediasi Malaysia merupakan salah satu dari beberapa elemen yang mendorong tercapainya diskon tarif.
Namun, ia juga menekankan bahwa negosiasi tarif merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai kepentingan dan konsesi timbal balik antara AS dan negara-negara mitra.
Sementara itu, Joanne Lin menilai bahwa Malaysia, Thailand, dan Kamboja bersikap terbuka terhadap pendekatan transaksional Trump, seraya belajar dari strategi negara-negara ASEAN lain yang lebih dahulu mendapatkan tarif rendah melalui peningkatan impor barang AS dan komitmen pasar terbuka.
Anusorn Tamajai dari Rangsit University di Thailand menyebut bahwa aspek utama keberhasilan bukan hanya gencatan senjata, tetapi juga kesediaan untuk memperluas akses pasar dan menyesuaikan kebijakan perdagangan demi kesepakatan yang saling menguntungkan.
Meski demikian, ia memperkirakan pertumbuhan ekspor Thailand akan melambat pada paruh kedua 2025 karena peningkatan pesat yang terjadi di awal tahun akibat antisipasi tarif.
Di Kamboja, pakar kebijakan Ou Virak menyebut bahwa konsesi Kamboja terhadap barang-barang AS mungkin tidak berdampak signifikan karena volume impor dari AS relatif kecil.
Robert Koopma, mantan kepala ekonom WTO, menyatakan bahwa perjanjian tarif ini sarat dengan ambiguitas yang disengaja, memberikan ruang interpretasi bagi kedua belah pihak untuk mengklaim kemenangan tanpa komitmen yang sepenuhnya terikat.
Ia menyimpulkan bahwa kesepakatan seperti ini akan membuka jalan bagi negosiasi lanjutan dan meningkatkan ketidakpastian dalam dunia perdagangan internasional

Tinggalkan Balasan