Megadewa88 portal,Jakarta – Sebuah wacana hipotetis yang menempatkan Erick Thohir, figur sentral dalam lanskap sepak bola nasional saat ini, pada posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) secara otomatis mengundang satu pertanyaan fundamental: bagaimanakah nasib perannya sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)? Skenario ini membuka diskursus mendalam mengenai titik singgung antara otoritas pemerintah dan independensi federasi olahraga, sebuah isu krusial yang menentukan arah tata kelola keolahragaan profesional di tanah air.

Demarkasi Kewenangan: Peran Regulator dan Operator
Untuk memahami kompleksitasnya, perlu ditarik garis demarkasi yang jelas antara fungsi Menpora dan Ketua Umum PSSI. Sebagai Menpora, seorang individu mengemban amanat sebagai representasi negara dalam merumuskan kebijakan, strategi, dan alokasi anggaran untuk seluruh cabang olahraga. Posisi ini adalah regulator tertinggi, fasilitator utama, sekaligus pengawas yang memastikan pembinaan olahraga nasional berjalan sesuai dengan cetak biru yang telah ditetapkan pemerintah. Kemenpora bertanggung jawab atas pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembangunan infrastruktur, serta penyiapan kontingen nasional untuk ajang multi-cabang internasional.
Di sisi lain, Ketua Umum PSSI adalah jabatan eksekutif tertinggi dalam sebuah federasi independen yang tunduk pada statuta internalnya sendiri, serta regulasi dari konfederasi regional (AFC) dan federasi global (FIFA). Peran ini bersifat operasional, berfokus secara eksklusif pada pengembangan sepak bola, mulai dari penyelenggaraan kompetisi, pembinaan usia dini, manajemen tim nasional, hingga hubungan internasional dengan entitas sepak bola lainnya. PSSI, secara prinsip, adalah organisasi otonom yang harus dijaga dari intervensi pihak luar, termasuk pemerintah, demi mematuhi aturan main yang ditetapkan oleh FIFA.
Potensi Konflik Kepentingan dan Disonansi Peran
Apabila kedua posisi tersebut diduduki oleh figur yang sama, potensi terjadinya konflik kepentingan menjadi sangat nyata dan sulit dihindari. Seseorang dalam kapasitasnya sebagai Menpora akan memiliki wewenang untuk menyetujui, meninjau, dan mengaudit proposal serta alokasi dana yang diajukan oleh PSSI. Pada saat yang bersamaan, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PSSI, ia adalah pihak yang mengajukan dan bertanggung jawab atas penggunaan dana tersebut. Terjadi sebuah disonansi peran, di mana subjek dan objek pengawasan menjadi satu entitas yang sama.
Situasi ini berisiko mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kepentingan organisasi. Keputusan-keputusan terkait alokasi sumber daya negara untuk sepak bola dapat dipersepsikan—benar atau tidak—lebih didasarkan pada agenda internal PSSI ketimbang pertimbangan proporsional untuk kemajuan seluruh cabang olahraga. Transparansi dan akuntabilitas, yang menjadi pilar utama dalam pengelolaan dana publik, berpotensi tergerus oleh tumpang tindihnya kewenangan ini.
Perspektif Regulasi Nasional dan Internasional
Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan menekankan pentingnya independensi dan kemandirian induk organisasi cabang olahraga. Semangat dari regulasi ini adalah untuk mendorong tata kelola yang profesional dan bebas dari intervensi yang dapat menghambat prestasi. Perangkapan jabatan oleh pejabat publik di organisasi olahraga telah lama menjadi bahan perdebatan, dengan argumen utama berpusat pada upaya menjaga otonomi federasi.
Dari perspektif internasional, FIFA secara tegas melarang adanya intervensi pemerintah terhadap asosiasi anggotanya. Meskipun pengangkatan seorang Ketua Umum PSSI menjadi Menpora merupakan urusan internal negara, FIFA akan mengamati dengan saksama apakah dualisme peran ini mengarah pada kontrol pemerintah atas pengambilan keputusan di dalam federasi. Jika terbukti ada, risiko sanksi internasional, mulai dari pembekuan keanggotaan hingga larangan partisipasi di kancah global, merupakan konsekuensi yang sangat serius.
Dengan demikian, seandainya Erick Thohir menjabat sebagai Menpora, perannya di PSSI secara etis dan yuridis akan berada di persimpangan jalan. Melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum PSSI akan menjadi langkah yang paling ideal untuk menjaga integritas tata kelola, menghindari konflik kepentingan, dan memastikan bahwa fungsi pengawasan pemerintah terhadap PSSI berjalan secara objektif dan imparsial. Langkah ini tidak hanya akan melindungi PSSI dari potensi sanksi, tetapi juga memperkuat fondasi profesionalisme dalam ekosistem olahraga Indonesia secara keseluruhan.

Tinggalkan Balasan